Jumat, 05 Desember 2014

Aku Cinta pada-mu (4)

(1)

Kekasih, akulah kota Jakarta yang semerawut
Dengan pemakaman umum yang tak terawatt

Tiba-tiba banjir bandang menerjang
Bah tumpah dari delapan penjuru
Liar, seperti prajurit kelaparan

Ke mana kau akan mengungsi
Berpalinglah pada ruang batinku:
Pada satu-satunya kuburan yang tak terendam


(2)

Aku tak bisa lagi memberi irama pada cuaca
Sedang si penagkap angin yang berpengalaman
Dengan wajah tirus dan jarring di tangan
Telah pulang ke akhir sejarah
Tinggal aku, kota yang sengsara
Harus merawat-mu dari wabah dan musibah

Hari ini tak ada mendung yang menggantung
Di atas rumah-mu. Tak ada halilintar
Yang tersesat arah. Ledakan petir telah lindap
Tetapi hujan tak pernah letih menari
Dengan seluruh jiwanya. Jika rinyai itu
Membuncah lagi, dan langit kembali berkabung
Kau akan basah kuyup. Rapuh
Seperti kapal terbengkelai di gigir pantai
Kau akan demam dan meracau


(3)

Kudatangi laut ke rumahnya
Siapa tahu dia memendam kesumat
Kujenguk langit dan berkunjung ke
Sarang badai
--kami baik-baik saja, kata mereka—
Hanya memang aku tak melihat hujan yang
Seharusnya tengah mendengkur di Istana Kemarau


(4)

Aku tak mengerti perasaaanku terkini
Apakah tengah membeku seperti batu
Atau mengalir deras, tak terhadang
Bahkan aku mencari-cari masihkah adakah
Kesengsaraan yang bisa mengucurkan tangisan

Kucemaskan kau karena segalanya
Makin sulit diramalkan. Kucemaskan kau
Karena bala dan petaka lebih dekat
Dari urat leher. Kucemaskan kau
Karena hidup semakin tidak memiliki kepastian
Kucemaskan kau karena peradaban telah begitu koma



Jakarta, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar