Memperingati seabad kelahiran perupa Sindutomo Soedjojono
(selanjutnya SS), Galeri Nasional Indonesia menggelar pameran bersifat memorabilia
dan tribute to SS dengan menghadirkan
karya-karyanya didampingi beberapa lukisan seniman terkini. Salah satu karya lukisnya yang sering
ditengarai mengandung muatan realisme itu adalah yang berjuluk “Maka Lahirlah
Angkatan 66”, cat minyak pada canvas, 100 X 85 cm, 1966.
Bagi yang belum pernah melihat lukisan tersebut, namun tahu
konteks tahun 1966, setidaknya dapatlah memprediksi seperti apa representasi
yang terdapat dalam lukisan itu. Angkatan 1966 berkait erat dengan titimangsa
tanggal 30 September atau 1 Oktober tahun 1965, yang merupakan titik kulminasi
dari suatu kurun yang kelam dalam perjalanan politik-kekuasaan bangsa Indonesia.
Kurun kelam ini bermula dari pertarungan antara Soekarno yang hendak
membersihkan bumi Nusantara dari neo- kolonialisme dan neo-imprealisme Barat
melawan para komprador asing terutama Amerika Serikat, yang hendak
melanggengkan usaha mengeruk kekayaan bumi Nusantara, dan memang usaha mereka
langgeng hingga sekarang setelah Bung Karno sebagai lawan satu-satunya
ditumbangkan melalui drama tragedi berdarah-darah di tahun 1965 itu.
Perlawanan Bung Karno terhadap koorporasi asing yang
menghisap bumi kekayaan Nusantara, digrendel oleh asing dengan menggunakan
budak-budak yang merupakan anak dari bumi pertiwi. Angkatan Darat dan para
intelektuil alumnus perguruan tinggi Amerika, telah dimanfaatkan para koorporasi
asing dari Eropa dan Amerika Utara untuk menggergaji tahta Bung Karno, dan para
boneka itu berhimpun dalam suatu golongan yang klaimtis bernama Angkatan 66.
Dunia sastra paling santer menyebut angkatan 66 itu, yang isi-isi sajak maupun
prosanya, tergolong tidak istimewa dibandingkan dengan periode penciptaan sastra
angkatan Chairil maupun dekade 70-an yang sufis-propetis-magis-mistis. Tentang
hal ini, perlu beberapa buku untuk menjelas-tegaskannya.
Pada lukisan itu, SS menceritakan seorang pelukis bertopi
laken, menghunus kuas dan menenteng cat. Peluksi itu mengenakan kemeja dan
jaket ala Barat dengan celana safari
digulung pada salah satu kakinya. Di Belajang pelukis terbentang spanduk
demonstrasi dengan tulisan lamat-lamat “Hidup ABRI, Gantung Bung karno,
Bubarkan PKI, dll.” Ada pula aktivis dan mobil jip, sepeda, becak, pengemis,
gedung yang mencakari langit, dan awan-gemawan. Lukisan lansekap Jakarta
banget.
Selain mencipta karya seni, SS juga banyak menulis artikel
dan dimuat di pelbagai media massa. Isi tulisannya merupakan konsepsi atau
kredo dalam keseniannya yang menyerukan supaya para seniman mengorek masalah
sosial-kultur dan bukan hanya menggambarkan lansekap atau kemolekan payudara
gadis pribumi, yang pada lukisan model begitu ia memberi cap moi indie (Indonesia molek). Saya
membacanya pada jaman sekarang, seruan itu masih relevan dan kontekstual,
meskipun lebih terasa sebagai khotbah, sebab konsepsi yang dicetuskannya
terbaca masih lemah secara filofofis, sosiologis, dan antropologis.
Mari cermati khotbahnya itu: “Seni lukis tidak boleh
mendengarkan dan menurut suatu grup moraliserende-mensen
(Belanda: orang-orang yang sok bermoral, dari katalog pameran “Jiwa Ketok dan Kebangsaan), atau menjadi
budak dari partai ini atau itu. Seni lukis harus merdeka semerdeka-merdekanya,
terlepas dari segala ikatan moral maupun tradisi agar dapat hidup subur, segar
dan merdeka.”
Selanjutnya SS menghardik para pelukis moi indie dengan kalimat-kalimat yang nyaris menghujat: “Kalau
masih ada darahmu sendiri di dadamu yang membawa benih angan-angan dari Dewi
Kesenianmu itu, mari tinggalkanlah dogma atas turismu itu, putuskanlah
rantai-rantai yang mengganggu kemerdekaan darahmu untuk memberi tempat,
memelihara benih menjadi garuda besar yang bersayap kuat bisa membawa kamu ke
langit yang biru melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan,
bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan.”
Elok nian traktat SS itu bukan? Tetapi cermatilah lukisan SS
yang digubah setelah Indonesia merdeka, akan terasa ia tengah menjilat ludah
yang telah dimuntahkannya. Katanya, “memelihara benih menjadi garuda besar yang
bersayap kuat bisa membawa kamu ke langit yang biru melayang-layang melihat dan
menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan
Tuhan.” Maka lahirlah lukisan-lukisan figuratif dan lansekap karya SS yang tematiknya
seirama dengan karya para pelukis Moi
Indie. Lukisan berjuluk Pantai Bali
(1974) atau Pura Satria (1960), tiada
lain dan tiada bukan senada dan sealiran dengan lukisan-lukisan moi indie itu.
Memang pada revolusi, banyak sekali seniman intelek,
politikus busuk, agamawan atau tokoh
masyarakat yang suka menuduh dengan telunjuk sementara kelingking berkait. Sayang
sungguh bahwa contradictio-interminis
tersebut “teu kakemot” (tidak
ter-explore) oleh dua kurator yang menyuguhkan pameran memorabilia berjuluk
Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S. Soedjojono, Persagi, dan Kita. Pameran
berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, sedari tanggal 27
September hingga 6 Oktober 2013. Pakar seni rupa dari ISI Yogya, Suwarno
Wisetrotomo, dan pakar seni rupa dari ITB, Rizki A Zaelani, menjadi kurator
pameran besar yang perlu ditengok tersebut.
Tetapi SS memang sudah dinisbatkan oleh para pakar seni rupa
macam Jim Supangkat, Suwarno Wisetromo, dan masih banyak lagi, sebagai salah
seorang pelopor perupa realisme. Karya-karya seni rupanya (patung, lukisan,
sketsa), merupakan pernyataan konsepsional tentang pentingnya realisme untuk
mendukung revolusi Indonesia. Kita patut bangga dan menghargainya. Tanpa harus
kusebutkan namanya, tentu saja ada pemikir-pemikir yang mengambil nada minor terhadap gelar pionir SS dalam
seni rupa realisme.
SS lahir di Kisaran, Sumatra Utara pada 1913 dan almarhum di
Jakarta pada 1986. Ia bertumbuh dalam iklim Kebangkitan Nasional yang
ditetapkan pada 20 Mei 1908 untuk menandai lahirnya Boedi Oetomo, sebuah
gerakan yang lebih organis dengan eskalasi kesadaran nasional yang lebih luas
dari perlawanan Pangeran Diponegoro yang hanya melingkupi wilayah Yogyakarta
dan sekitarnya. Cokroaminoto, Soekarno, Suwardi Suryaningrat, dan masih banyak
lagi, adalah tokoh-tokoh nasionalis yang lintas pulau. Pemikiran-pemikiran
mereka turut mempengaruhi generasi berikutnya, termasuk SS. Maka wajar bila SS
begitu menggebu dalam berpidato, dalam menyindir sehingga terasa amat ketus dan
menghardik. Sama dengan para intelektuil dan seniman-seniman Lekra, Lesbumi,
Persagi, dan lain-lain yang berdiri kala itu, semuanya gemar nian berdebat dan
saling menghujat. Suatu aura yang pastinya dipengaruhi benar oleh letusan bedil
dan mariam. Ya, SS lahir di masa revolusi dan pencarian jati diri bangsa di
berbagai sektor dan elemen kebudayaan, tak terkecuali wilayah visual arts.
Pameran Peringatan Puncak 100 Tahun SS ini digagas oleh Soedjojono
Center, dan pembukaannya dikemas dengan apik oleh Multi Arta Mayida, sebuah event organizer yang lincah dan idealis
dalam menyelenggarakan pameran seni rupa, termasuk pameran trubador dari kota ke kota dengan membongkar pasang tenda untuk
pameran. Pada pembukaan pameran, nampak beberapa tokoh seni rupa dan para
perupa avant-garde macam Heri Dono, Ivan Hariyanto, Rudi Setia Darma, dll.
Direktur EO Mayida, Yuliana Kaawoan mengatakan, Canna Gallery meminta pameran
seabad SS ini kembali digelar di Canna, dan meminta Mayida mengemasnya.
Menyertai karya-karya SS, pada pameran tribute to itu dihadirkan pula karya seangkatannya, yaitu karya
kakak-beradik Agus Djaya dan Otto Djaya, Sindu Sisworo, Sudiarjo, Surono,
Emiria Soenasa, dan lukisan-lukisan karya perupa masa kini yang masih jumeneng, yaitu Agung Mangu Putra,
Asmudjo Jono Irianto, Deden Sambas, Diyanto, Entang Wiharso, Hafiz, Isa
Perkasa, Ivan Sagita, Jumaldi Alfi, Nasirun, Nyoman Erawan, Pupuk Daru Purnomo,
Seruni Bodjawati, dan Sigit Santosa.
*Penulis adalah politikus
nonpartisan.