Minggu, 05 April 2015

Jatinegara

Sejak bosan menggenang di Cipinang, AKU menghilir ke timur, menyepi di Pondok Kopi. Tetapi sama belaka, tak ada sunyi yang sejati. Gerah membuncah, dipancarsiarkan kotak pandora dari bokong pejabat yang keranjingan berbohong. Maka AKU pun kembali pada tabiat lama: Jadi pengungsi abadi di setiap persinggahan. Berbekal toa dan palu, AKU menumpang kereta yang memendam riwayat luka. Berulang kali kulintasi Jatinegara.
Inilah stasiun terluka sejak kuasa pertama ditancapkan, sejak VOC mengajarkan cara menyunat anggaran dengan brilian. Membuat kalian jadi kecoa yang megap-megap, jadi kupu-kupu malam yang legam. Kalian tidak beroleh jatah kudapan yang dijanjikan undang-undang. Kedaulatan-mu raib disaksikan murka Tuhan dan banjir bandang.
AKU berkoar-koar menawarkan puisi yang terjanji, dan kedaulatan paling hakiki. AKU berkata tentang aneksasi Orde Baru dan Freeport, membuat warga Papua jadi bergolak. Demi perut buncit, demi kemilau emas, mereka melibas Kennedy dan menggulingkan Bung Karno. AKU bersabda, wahai kalian yang terenggut dan tercerabut, yang dikhianati para pemungut suara, berteriaklah dengan dengkul bahwa pengupingan-mu tidak cukup lagi dihibur dongengan para pemimpin yang lembek namun semena-mena.
AKU terus berteriak, sekalipun tak pernah berbalas.AKU mengajak, tak bersambut. AKU menyeru, malah ditipu. Setelah semedi di Pondok Kopi, kusadari ternyata khotbahku senada dengan ceramah ustad yang berlomba melawak dalam televisi, karena doyan uang, di mana ibu-ibu berseragam menjadi mustaminya. Pangsa pasar bisnis zikir, memang perempuan-perempuan bermasalah.
Di Jatinegara, AKU bersua Ronggowarsito. Sebagai junior, kumohon hikmah darinya. “Penyair yang budiman, bacakanlah sajak-sajak-mu!“ “Jauh sebelum Musa mengambil sumpah di Tursina, agama dan wanita belia, selalu jadi komoditas menggiurkan. Sejak kompeni membangun Jatinegara, pejabat dan penjahat adalah sahabat yang saling bertukar tempat. Dan sejak Julius menjabat kaisar, negara tidak lagi membutuhkan puisi, maka para penyair harus digantung!“

Jakarta, 2012 


* Pernah tersiar di surat kabar "Media Indonesia" pada 1 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar