Kamis, 02 Juli 2015

ASAS UPI Bandung dan puisi hasil keroyokan




Eksperimentasi semestinya tidak jalan di tempat, juga dalam ber-sastra. Berhenti eksperimen niscaya melahirkan kejumudan sikap, stagnasi ide, dan mandek kreativitas. Sesunggunya berbagai eksperimen banyak yang sudah dilakukan, semisal menulis puisi secara berantai. Namun menindaklanjuti hasil eksperimen tersebut dengan dilakukan editing atau revisi yang serius, lalu dipublikasikan ke koran atau diterbitkan dalam bentuk buku, itu yang sangat jarang, malah bisa dikatakan belum ada puisi hasil kerja kolektif. Apa salahnya kami mencoba.


ASaS UPI*

RENUNGAN MALAM 1

Aku teringat kau Litaniar
sekuntum mawar yang senantiasa mekar
sepeti fajar, hari demi hari
rinduku menderu
seperti kaum barbar
memangsa orang
masa lalumu

Di sini
di kedai sunyi ini
aku memikirkan cara terbaik
untuk membunuh kenanganku

O Litaniar! Kekasih dalam kesunyianku
mawar hitam yang merambati hari-hariku
ingin kucabut tangkaimu dari dadaku
dengan tangan berdarah
Karena aku seperti Yesus itu
memanggul salib dari Cicalengka ke Ledeng.
2015


*ASaS UPI adalah represanti dari Doddi Ahmad Fauii, Fajar M. Fitrah, Adhimas Muhammad, Zulkifli Sonyanan, Mustafa Reza, dan Zulfa Nasrullah.


 ASaS UPI 2*


RENUNGAN MALAM 2

Di ledeng
tiba-tiba udara menerbangkanku ke Leiden
di punggung Desember

Dalam renungan ini
nasibku seperti
lekuk-lekuk di dadamu
penuh keringat

Aku ingat pertamakali tiba di tempat ini
kau berikanku seikat gandum
dan bibir yang ranum
pelan-pelan kucuri rautmu yang bergetar

Audry, catatlah ini
bukan sebagai surat atau sajak
yang akan mengingatkanmu pada seseorang
tapi pada sebuah negeri dalam diriku
yang terjajah abadi

2015


*ASaS UPI adalah represanti dari Doddi Ahmad Fauji, Fajar M. Fitrah, Fuad Jauharudin,  Rangga Abdul Azis,  Adhimas Muhammad, Zulkifli Songyanan, Mustafa Reza, dan Aden Maruf.


ASaS UPI 2*

RENUNGAN MALAM 3

Meidina, dari nanar  tatapmu
lantunan sopran itu bergetar
seperti pagoda di Myanmar
Sekhusuk biksu
apalagi yang lebih sunyi
dari sebotol anggur dalam kulkas
aku putuskan
menjadi seorang Mon
yang menziarahi 3000 kuburan
di dadamu
dari kibasan rambutmu
demonstran-demonstran  mati bangkit kembali
menjelma gagak-gagak purba
bersama skop dan dendam yang berkarat
aku pun berjalan,
hanyut dalam suara flute menuju maut

Meidina, ingin kureguk secawan anggur cinta kita,
 menyala-nyala

Di Myanmar, matahari telah kalis
tapi lantunan sopranmu kekal
dalam kidung yang digubah
seorang biksu

2015


*ASaS UPI adalah represanti dari Doddi Ahmad Fauji, Fajar M. Fitrah, Fuad Jauharudin,  Rangga Abdul Azis,  Adhimas Muhammad, Zulkifli Songyanan, Mustafa Reza, dan Aden Maruf.

ASaS UPI 2*


RENUNGAN MALAM 4

Ya Maharani Hyang Agung
demi kumbang-kumbang
yang tak dapat membedakan
mana kembang rose dan kembang senyummu
aku bersaksi
tiada yang lebih dinanti
selain bedug maghrib
dan matamu yang kerap
menuntaskan dahaga
dalam bermiliyar dzikir
pada setiap hasta syahadat
ketika langit menarik kembali
pelita yang pernah dilahirkannya
tapi cai tak pernah mahi
sebagai wudhu tubuhku

Ya Maharani, seperti Neng Li
matamu adalah kiblat
bagi seorang penyair kasmaran
orbit  seluruh galaksi
dan merdu seluruh nyanyi
Pada tiap puncak malam
doa lembut ini selalu kuucapkan
berbahagialah maharani!

2015


*ASaS UPI adalah represanti dari Doddi Ahmad Fauji, Fajar M. Fitrah, Fuad Jauharudin,  Rangga Abdul Azis,  Adhimas Muhammad, Zulkifli Songyanan, Mustafa Reza, dan Aden Maruf.


ASaS UPI 2*


RENUNGAN MALAM 5

Di sebabkan oleh
keharusaan sahur
dengan berat hati
kau bangkitkan seluruh lelaki
dari mimpinya yang kering

Disebabkan oleh
desak imsak
selepas kau tanak
beberapa harap
yang kita titip
pada bulir-bulir padi
pada kembang-kembang melati

Hilda, di sini bulan sabit
merangkak purnama
pasti sampai, juga harap
yang kau masak di wajan hatiku
untuk sahur  tiap ramadhan

2015


*ASaS UPI adalah represanti dari Doddi Ahmad Fauji, Fajar M. Fitrah, Fuad Jauharudin,  Rangga Abdul Azis,  Adhimas Muhammad, Zulkifli Songyanan, Mustafa Reza, dan Aden Maruf.

ASaS UPI adalah singkatan dari Arena Studi Apresiasi Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Sebagai UKM, AAaS didirikan pada 12 Januari 1991 di UPI oleh beberapa sastrawan, kala itu masih calon sastrawan, antara lain almarhum Wan Awar, Doddi Ahmad Fauji, Deden A. Azis, Nenden Lilis A. Dari waktu ke waktu, ASaS telah mengkader beberapa penulis sastra yang berkiprah secara nasional seperti Doddi Ahmad Fauji, Faisal Syahreza,  Edwar Maulana, Nenden Lilis A, Deden A. Azis, Frans Ekodhanto, dll.

Jumat, 01 Mei 2015

PUISI TENTANG MENULIS PUISI


Kepada Litaniar Qonakis Iskandar

Aku sangat percaya puisi
dan menulisnya
serupa jembatan menghubungkan
kita dalam cinta yang meledak-ledak
sejak itu, sejak aku tertambat
bibir-mu selalu merangsang imanku
aku ingin cucus
aku akan cucus tak henti-hentinya
aku pasti cucus hanya dengan-mu

Puisi telah menuntun-mu
pulang hanya ke arahku
puisi usai kutulis, kau membacanya
sebagai doa sebelum beranjak tidur
membuat Amerika yang bar-bar
jatuh dan bertaubat

Ketika pemuka agama meninggalkan puisi
bahkan menolak puisi dalam berdoa
aku bersetia dan berterima kasih
kepada puisi yang telah meyakinkan-mu
akan bersamaku
hanya bersamaku
bercinta
dan beranak-pinak


Bandung, 2015

·         Cucus adalah bercinta penuh gairah dengan direstui Tuhan dalam pelaminan
       Pernah dipublikasikan di Koran Lampung Pos, edisi 22 Februari 2015.

Minggu, 05 April 2015

Cicalengka

Sebuah stasiun tua warisan Belanda, enggan berubah, enggan bertambah. Perniagaan bertumpu pada pabrik tahu dan panen tomat, sekalipun presiden berulang kali jatuh. Sampai juga akhirnya kau sadar, rakyat terpaksa membeli kucing dalam karung, hingga terpilih pemimpin paling lembek dalam sejarah Republik.Kawan, kau harus berkata-kata. Telingaku terbuka untuk semua luka. Katakan padaku mengapa yang tumpah selalu kesah. Mengapa presiden takut mati.

Tak ada yang fasih berucap. Protes yang keras bergaung di ruang kosong. Juga di suatu hari pada pukul 10 pagi, ketika orang-orang berkepala batu dari negeri api, yang menyemburkan asap hitam dari mulut dan telinga, berbanjar mengepung stasiun, mereka menaruh pergelangan tangan di atas rel. Sebuah lok yang memuat mayat-mayat busuk, melindas tangan sia-sia itu, yang terucap ialah euforia: “Horeee, lengan kita sudah buntung. Kini kita bisa jadi pengemis yang resmi. Jadi bala bagi para pendusta!“

Bersahutan orang-orang berkepala batu dari negeri api, tertatih-tatih tanpa lengan, menyeru dan mengajak serta zombie-zombie korban Lumpur Lapindo, serempak merangsek ke arah ibukota. Bertambahtambah para pengikut dari pelbagai pelosok. Setiap kampung beling yang dilintasi, mengutus perwakilan dengan biji mata yang telah dicongkel sebelah, daun telinga digunting separuh, batang kaki ditebas sampai betis, hingga menjelma manusia paling papa, lalu mengepung Istana dengan gemuruh pilu: Tuan kami belum makan, jangan beri kami peluru!

Telinga kuasa lebih sering alfa. Sekalipun sampai akhirnya, di suatu sore yang ranum oleh putus asa, seorang anak muda meloncat dari gerbong kereta ke arah moncong istana, lalu menulis puisi di tubuhnya dengan kobaran api. Jeda sesaat, hening sewaktu.Bermilyar kupu-kupu menari dalam kubangan haru, mewakili langit yang ikut berlutut. Anak-anak kambing mengembik di gurun tandus, lengkingannya diserap sunyi yang abadi, dan kicau burung-burung beri kesaksian tentang penguasa yang selalu meminta nyawa, selalu haus korban.
Kawan, penghuni istana tidak bergeming juga bukan, sekalipun nyawa-nyawa bergelimang di depan hidungnya. Mereka telah buta, tuli, dan bisu, dan tidak akan kembali pada sedia kala.
Jakarta, 2011 

Pernah tersiar di surat kabar "Media Indonesia" pada 1 Februari 2015

Jatinegara

Sejak bosan menggenang di Cipinang, AKU menghilir ke timur, menyepi di Pondok Kopi. Tetapi sama belaka, tak ada sunyi yang sejati. Gerah membuncah, dipancarsiarkan kotak pandora dari bokong pejabat yang keranjingan berbohong. Maka AKU pun kembali pada tabiat lama: Jadi pengungsi abadi di setiap persinggahan. Berbekal toa dan palu, AKU menumpang kereta yang memendam riwayat luka. Berulang kali kulintasi Jatinegara.
Inilah stasiun terluka sejak kuasa pertama ditancapkan, sejak VOC mengajarkan cara menyunat anggaran dengan brilian. Membuat kalian jadi kecoa yang megap-megap, jadi kupu-kupu malam yang legam. Kalian tidak beroleh jatah kudapan yang dijanjikan undang-undang. Kedaulatan-mu raib disaksikan murka Tuhan dan banjir bandang.
AKU berkoar-koar menawarkan puisi yang terjanji, dan kedaulatan paling hakiki. AKU berkata tentang aneksasi Orde Baru dan Freeport, membuat warga Papua jadi bergolak. Demi perut buncit, demi kemilau emas, mereka melibas Kennedy dan menggulingkan Bung Karno. AKU bersabda, wahai kalian yang terenggut dan tercerabut, yang dikhianati para pemungut suara, berteriaklah dengan dengkul bahwa pengupingan-mu tidak cukup lagi dihibur dongengan para pemimpin yang lembek namun semena-mena.
AKU terus berteriak, sekalipun tak pernah berbalas.AKU mengajak, tak bersambut. AKU menyeru, malah ditipu. Setelah semedi di Pondok Kopi, kusadari ternyata khotbahku senada dengan ceramah ustad yang berlomba melawak dalam televisi, karena doyan uang, di mana ibu-ibu berseragam menjadi mustaminya. Pangsa pasar bisnis zikir, memang perempuan-perempuan bermasalah.
Di Jatinegara, AKU bersua Ronggowarsito. Sebagai junior, kumohon hikmah darinya. “Penyair yang budiman, bacakanlah sajak-sajak-mu!“ “Jauh sebelum Musa mengambil sumpah di Tursina, agama dan wanita belia, selalu jadi komoditas menggiurkan. Sejak kompeni membangun Jatinegara, pejabat dan penjahat adalah sahabat yang saling bertukar tempat. Dan sejak Julius menjabat kaisar, negara tidak lagi membutuhkan puisi, maka para penyair harus digantung!“

Jakarta, 2012 


* Pernah tersiar di surat kabar "Media Indonesia" pada 1 Februari 2015

Tentang Eklektika

Kepada Karintania Maharani yang Agung 
Akan kuulang-ulang ini pernyataan, sambil menggenggam jemari-mu: AKU tidak membutuhkan interpretasi Pancasila versi politikus. Karena AKU telah siap moksa, menyatu dengan keheningan.
Tetapi AKU sangat menginginkan segera bersanding dengan-mu, membawakan-mu tujuh musim pancaroba, kapal pesiar, kertas kosong berikut penanya. AKU akan mendampingi-mu berpesiar ke kota-kota terindah, guna mengabadikan mahakarya para arsitek, dan merekam seluruh senyuman tulus ke dalam puisi. AKU akan menjadi ayah teladan bagi anak-anak batin yang kau lahirkan. Karin, AKU yang terbaik untuk-mu, dan tidak usah menghiraukan pidato demagogis kaum agony.
Para pengkhayal akan binasa dan tercela, karena hanya berjanji semasa kampanye. Itulah maklumat yang tersurat dalam kitab Taurat. Bukalah jendela hati-mu seluas Kalam Ilahi, supaya AKU tidak menjadi pengingkar. AKU mempersiapkan doa untuk bertamu ke ruang batin-mu. AKU ingin kau selalu bahagia dan mengulurkan senyum termulai. Untuk itulah kudirikan sekolah, kubentuk koperasi rempahrempah, kuterbitkan majalah, agar dapat menopang dan memayungi-mu dari hujan yang memedihkan.Adakalanya manusia berikut perangainya, amat barbar melontarkan kedengkian, menukik seperti hujan panah di Kurusetra. Kekasih, hanya untuk-mu AKU bersedia ikut wajib militer. Dada dan doa-doaku akan menjadi tameng bagi-mu.
Karin, kau bisa sangat tidak percaya pada janjijanjiku. Bisa menyalakan atau memadamkan lilin di kamar-mu, kapan pun kau menghendakinya. Bisa memutar arah kipas angin, bahkan bisa meledakkan matahari sekalipun. Tetapi kau tidak akan pernah bisa melarangku untuk mencintai-mu.
Bandung, 2014 

Catatan

* Agony: Para dewa yang berdebat di langit tentang bagaimana harus memadamkan api yang kebakaran. Mereka terus saja berdebat, tidak melakukan aksi, sementara bumi terus saja terbakar dan sudah hampir gosong. Dengan kata lain, Agony adalah dewa yang gemar berjanji.

** Pernah tersiar di surat kabar "Media Indonesia" pada 1 Februari 2015

Senin, 08 Desember 2014

Jejak Jiwa Ketok



Memperingati seabad kelahiran perupa Sindutomo Soedjojono (selanjutnya SS), Galeri Nasional Indonesia menggelar pameran bersifat memorabilia dan tribute to SS dengan menghadirkan karya-karyanya didampingi beberapa lukisan seniman terkini.  Salah satu karya lukisnya yang sering ditengarai mengandung muatan realisme itu adalah yang berjuluk “Maka Lahirlah Angkatan 66”, cat minyak pada canvas, 100 X 85 cm, 1966.

Bagi yang belum pernah melihat lukisan tersebut, namun tahu konteks tahun 1966, setidaknya dapatlah memprediksi seperti apa representasi yang terdapat dalam lukisan itu. Angkatan 1966 berkait erat dengan titimangsa tanggal 30 September atau 1 Oktober tahun 1965, yang merupakan titik kulminasi dari suatu kurun yang kelam dalam perjalanan politik-kekuasaan bangsa Indonesia. Kurun kelam ini bermula dari pertarungan antara Soekarno yang hendak membersihkan bumi Nusantara dari neo- kolonialisme dan neo-imprealisme Barat melawan para komprador asing terutama Amerika Serikat, yang hendak melanggengkan usaha mengeruk kekayaan bumi Nusantara, dan memang usaha mereka langgeng hingga sekarang setelah Bung Karno sebagai lawan satu-satunya ditumbangkan melalui drama tragedi berdarah-darah di tahun 1965 itu.

Perlawanan Bung Karno terhadap koorporasi asing yang menghisap bumi kekayaan Nusantara, digrendel oleh asing dengan menggunakan budak-budak yang merupakan anak dari bumi pertiwi. Angkatan Darat dan para intelektuil alumnus perguruan tinggi Amerika, telah dimanfaatkan para koorporasi asing dari Eropa dan Amerika Utara untuk menggergaji tahta Bung Karno, dan para boneka itu berhimpun dalam suatu golongan yang klaimtis bernama Angkatan 66. Dunia sastra paling santer menyebut angkatan 66 itu, yang isi-isi sajak maupun prosanya, tergolong tidak istimewa dibandingkan dengan periode penciptaan sastra angkatan Chairil maupun dekade 70-an yang sufis-propetis-magis-mistis. Tentang hal ini, perlu beberapa buku untuk menjelas-tegaskannya.

Pada lukisan itu, SS menceritakan seorang pelukis bertopi laken, menghunus kuas dan menenteng cat. Peluksi itu mengenakan kemeja dan jaket ala Barat dengan celana safari digulung pada salah satu kakinya. Di Belajang pelukis terbentang spanduk demonstrasi dengan tulisan lamat-lamat “Hidup ABRI, Gantung Bung karno, Bubarkan PKI, dll.” Ada pula aktivis dan mobil jip, sepeda, becak, pengemis, gedung yang mencakari langit, dan awan-gemawan. Lukisan lansekap Jakarta banget.

Selain mencipta karya seni, SS juga banyak menulis artikel dan dimuat di pelbagai media massa. Isi tulisannya merupakan konsepsi atau kredo dalam keseniannya yang menyerukan supaya para seniman mengorek masalah sosial-kultur dan bukan hanya menggambarkan lansekap atau kemolekan payudara gadis pribumi, yang pada lukisan model begitu ia memberi cap moi indie (Indonesia molek). Saya membacanya pada jaman sekarang, seruan itu masih relevan dan kontekstual, meskipun lebih terasa sebagai khotbah, sebab konsepsi yang dicetuskannya terbaca masih lemah secara filofofis, sosiologis, dan antropologis.

Mari cermati khotbahnya itu: “Seni lukis tidak boleh mendengarkan dan menurut suatu grup moraliserende-mensen (Belanda: orang-orang yang sok bermoral, dari katalog pameran “Jiwa Ketok dan Kebangsaan), atau menjadi budak dari partai ini atau itu. Seni lukis harus merdeka semerdeka-merdekanya, terlepas dari segala ikatan moral maupun tradisi agar dapat hidup subur, segar dan merdeka.”

Selanjutnya SS menghardik para pelukis moi indie dengan kalimat-kalimat yang nyaris menghujat: “Kalau masih ada darahmu sendiri di dadamu yang membawa benih angan-angan dari Dewi Kesenianmu itu, mari tinggalkanlah dogma atas turismu itu, putuskanlah rantai-rantai yang mengganggu kemerdekaan darahmu untuk memberi tempat, memelihara benih menjadi garuda besar yang bersayap kuat bisa membawa kamu ke langit yang biru melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan.”

Elok nian traktat SS itu bukan? Tetapi cermatilah lukisan SS yang digubah setelah Indonesia merdeka, akan terasa ia tengah menjilat ludah yang telah dimuntahkannya. Katanya, “memelihara benih menjadi garuda besar yang bersayap kuat bisa membawa kamu ke langit yang biru melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan.” Maka lahirlah lukisan-lukisan figuratif dan lansekap karya SS yang tematiknya seirama dengan karya para pelukis Moi Indie. Lukisan berjuluk Pantai Bali (1974) atau Pura Satria (1960), tiada lain dan tiada bukan senada dan sealiran dengan lukisan-lukisan moi indie itu.

Memang pada revolusi, banyak sekali seniman intelek, politikus  busuk, agamawan atau tokoh masyarakat yang suka menuduh dengan telunjuk sementara kelingking berkait. Sayang sungguh bahwa contradictio-interminis tersebut “teu kakemot” (tidak ter-explore) oleh dua kurator yang menyuguhkan pameran memorabilia berjuluk Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S. Soedjojono, Persagi, dan Kita. Pameran berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, sedari tanggal 27 September hingga 6 Oktober 2013. Pakar seni rupa dari ISI Yogya, Suwarno Wisetrotomo, dan pakar seni rupa dari ITB, Rizki A Zaelani, menjadi kurator pameran besar yang perlu ditengok tersebut.

Tetapi SS memang sudah dinisbatkan oleh para pakar seni rupa macam Jim Supangkat, Suwarno Wisetromo, dan masih banyak lagi, sebagai salah seorang pelopor perupa realisme. Karya-karya seni rupanya (patung, lukisan, sketsa), merupakan pernyataan konsepsional tentang pentingnya realisme untuk mendukung revolusi Indonesia. Kita patut bangga dan menghargainya. Tanpa harus kusebutkan namanya, tentu saja ada pemikir-pemikir yang mengambil  nada minor terhadap gelar pionir SS dalam seni rupa realisme.

SS lahir di Kisaran, Sumatra Utara pada 1913 dan almarhum di Jakarta pada 1986. Ia bertumbuh dalam iklim Kebangkitan Nasional yang ditetapkan pada 20 Mei 1908 untuk menandai lahirnya Boedi Oetomo, sebuah gerakan yang lebih organis dengan eskalasi kesadaran nasional yang lebih luas dari perlawanan Pangeran Diponegoro yang hanya melingkupi wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Cokroaminoto, Soekarno, Suwardi Suryaningrat, dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh nasionalis yang lintas pulau. Pemikiran-pemikiran mereka turut mempengaruhi generasi berikutnya, termasuk SS. Maka wajar bila SS begitu menggebu dalam berpidato, dalam menyindir sehingga terasa amat ketus dan menghardik. Sama dengan para intelektuil dan seniman-seniman Lekra, Lesbumi, Persagi, dan lain-lain yang berdiri kala itu, semuanya gemar nian berdebat dan saling menghujat. Suatu aura yang pastinya dipengaruhi benar oleh letusan bedil dan mariam. Ya, SS lahir di masa revolusi dan pencarian jati diri bangsa di berbagai sektor dan elemen kebudayaan, tak terkecuali wilayah visual arts.

Pameran Peringatan Puncak 100 Tahun SS ini digagas oleh Soedjojono Center, dan pembukaannya dikemas dengan apik oleh Multi Arta Mayida, sebuah event organizer yang lincah dan idealis dalam menyelenggarakan pameran seni rupa, termasuk pameran trubador dari kota ke kota dengan membongkar pasang tenda untuk pameran. Pada pembukaan pameran, nampak beberapa tokoh seni rupa dan para perupa avant-garde macam Heri Dono, Ivan Hariyanto, Rudi Setia Darma, dll. Direktur EO Mayida, Yuliana Kaawoan mengatakan, Canna Gallery meminta pameran seabad SS ini kembali digelar di Canna, dan meminta Mayida mengemasnya.

Menyertai karya-karya SS, pada pameran tribute to itu dihadirkan pula karya seangkatannya, yaitu karya kakak-beradik Agus Djaya dan Otto Djaya, Sindu Sisworo, Sudiarjo, Surono, Emiria Soenasa, dan lukisan-lukisan karya perupa masa kini yang masih jumeneng, yaitu Agung Mangu Putra, Asmudjo Jono Irianto, Deden Sambas, Diyanto, Entang Wiharso, Hafiz, Isa Perkasa, Ivan Sagita, Jumaldi Alfi, Nasirun, Nyoman Erawan, Pupuk Daru Purnomo, Seruni Bodjawati, dan Sigit Santosa.

*Penulis adalah politikus nonpartisan.

Jumat, 05 Desember 2014

Aku Cinta Pada-mu (1)



Bagi-mu yang menyimpan hamparan laut
Sebuah perahu akan berlabuh
Mengantarkan salam dan kasihku
Sebatang sungai akan mengalirkan
Kerinduan dan peluk-ciumku

Bagi-mu yang terlunta-lunta di belantara kota
Yang didera kelaparan di tengah pesta pora
Yang dihardik kesepian di tengah keramaian
Bertandanglah ke ruang batinku
Akan kuhibur kau dengan selarik puisi:
Aku cinta kepada-mu!

Jakarta, 2005 - 2011