Senin, 08 Desember 2014

Jejak Jiwa Ketok



Memperingati seabad kelahiran perupa Sindutomo Soedjojono (selanjutnya SS), Galeri Nasional Indonesia menggelar pameran bersifat memorabilia dan tribute to SS dengan menghadirkan karya-karyanya didampingi beberapa lukisan seniman terkini.  Salah satu karya lukisnya yang sering ditengarai mengandung muatan realisme itu adalah yang berjuluk “Maka Lahirlah Angkatan 66”, cat minyak pada canvas, 100 X 85 cm, 1966.

Bagi yang belum pernah melihat lukisan tersebut, namun tahu konteks tahun 1966, setidaknya dapatlah memprediksi seperti apa representasi yang terdapat dalam lukisan itu. Angkatan 1966 berkait erat dengan titimangsa tanggal 30 September atau 1 Oktober tahun 1965, yang merupakan titik kulminasi dari suatu kurun yang kelam dalam perjalanan politik-kekuasaan bangsa Indonesia. Kurun kelam ini bermula dari pertarungan antara Soekarno yang hendak membersihkan bumi Nusantara dari neo- kolonialisme dan neo-imprealisme Barat melawan para komprador asing terutama Amerika Serikat, yang hendak melanggengkan usaha mengeruk kekayaan bumi Nusantara, dan memang usaha mereka langgeng hingga sekarang setelah Bung Karno sebagai lawan satu-satunya ditumbangkan melalui drama tragedi berdarah-darah di tahun 1965 itu.

Perlawanan Bung Karno terhadap koorporasi asing yang menghisap bumi kekayaan Nusantara, digrendel oleh asing dengan menggunakan budak-budak yang merupakan anak dari bumi pertiwi. Angkatan Darat dan para intelektuil alumnus perguruan tinggi Amerika, telah dimanfaatkan para koorporasi asing dari Eropa dan Amerika Utara untuk menggergaji tahta Bung Karno, dan para boneka itu berhimpun dalam suatu golongan yang klaimtis bernama Angkatan 66. Dunia sastra paling santer menyebut angkatan 66 itu, yang isi-isi sajak maupun prosanya, tergolong tidak istimewa dibandingkan dengan periode penciptaan sastra angkatan Chairil maupun dekade 70-an yang sufis-propetis-magis-mistis. Tentang hal ini, perlu beberapa buku untuk menjelas-tegaskannya.

Pada lukisan itu, SS menceritakan seorang pelukis bertopi laken, menghunus kuas dan menenteng cat. Peluksi itu mengenakan kemeja dan jaket ala Barat dengan celana safari digulung pada salah satu kakinya. Di Belajang pelukis terbentang spanduk demonstrasi dengan tulisan lamat-lamat “Hidup ABRI, Gantung Bung karno, Bubarkan PKI, dll.” Ada pula aktivis dan mobil jip, sepeda, becak, pengemis, gedung yang mencakari langit, dan awan-gemawan. Lukisan lansekap Jakarta banget.

Selain mencipta karya seni, SS juga banyak menulis artikel dan dimuat di pelbagai media massa. Isi tulisannya merupakan konsepsi atau kredo dalam keseniannya yang menyerukan supaya para seniman mengorek masalah sosial-kultur dan bukan hanya menggambarkan lansekap atau kemolekan payudara gadis pribumi, yang pada lukisan model begitu ia memberi cap moi indie (Indonesia molek). Saya membacanya pada jaman sekarang, seruan itu masih relevan dan kontekstual, meskipun lebih terasa sebagai khotbah, sebab konsepsi yang dicetuskannya terbaca masih lemah secara filofofis, sosiologis, dan antropologis.

Mari cermati khotbahnya itu: “Seni lukis tidak boleh mendengarkan dan menurut suatu grup moraliserende-mensen (Belanda: orang-orang yang sok bermoral, dari katalog pameran “Jiwa Ketok dan Kebangsaan), atau menjadi budak dari partai ini atau itu. Seni lukis harus merdeka semerdeka-merdekanya, terlepas dari segala ikatan moral maupun tradisi agar dapat hidup subur, segar dan merdeka.”

Selanjutnya SS menghardik para pelukis moi indie dengan kalimat-kalimat yang nyaris menghujat: “Kalau masih ada darahmu sendiri di dadamu yang membawa benih angan-angan dari Dewi Kesenianmu itu, mari tinggalkanlah dogma atas turismu itu, putuskanlah rantai-rantai yang mengganggu kemerdekaan darahmu untuk memberi tempat, memelihara benih menjadi garuda besar yang bersayap kuat bisa membawa kamu ke langit yang biru melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan.”

Elok nian traktat SS itu bukan? Tetapi cermatilah lukisan SS yang digubah setelah Indonesia merdeka, akan terasa ia tengah menjilat ludah yang telah dimuntahkannya. Katanya, “memelihara benih menjadi garuda besar yang bersayap kuat bisa membawa kamu ke langit yang biru melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan.” Maka lahirlah lukisan-lukisan figuratif dan lansekap karya SS yang tematiknya seirama dengan karya para pelukis Moi Indie. Lukisan berjuluk Pantai Bali (1974) atau Pura Satria (1960), tiada lain dan tiada bukan senada dan sealiran dengan lukisan-lukisan moi indie itu.

Memang pada revolusi, banyak sekali seniman intelek, politikus  busuk, agamawan atau tokoh masyarakat yang suka menuduh dengan telunjuk sementara kelingking berkait. Sayang sungguh bahwa contradictio-interminis tersebut “teu kakemot” (tidak ter-explore) oleh dua kurator yang menyuguhkan pameran memorabilia berjuluk Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S. Soedjojono, Persagi, dan Kita. Pameran berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, sedari tanggal 27 September hingga 6 Oktober 2013. Pakar seni rupa dari ISI Yogya, Suwarno Wisetrotomo, dan pakar seni rupa dari ITB, Rizki A Zaelani, menjadi kurator pameran besar yang perlu ditengok tersebut.

Tetapi SS memang sudah dinisbatkan oleh para pakar seni rupa macam Jim Supangkat, Suwarno Wisetromo, dan masih banyak lagi, sebagai salah seorang pelopor perupa realisme. Karya-karya seni rupanya (patung, lukisan, sketsa), merupakan pernyataan konsepsional tentang pentingnya realisme untuk mendukung revolusi Indonesia. Kita patut bangga dan menghargainya. Tanpa harus kusebutkan namanya, tentu saja ada pemikir-pemikir yang mengambil  nada minor terhadap gelar pionir SS dalam seni rupa realisme.

SS lahir di Kisaran, Sumatra Utara pada 1913 dan almarhum di Jakarta pada 1986. Ia bertumbuh dalam iklim Kebangkitan Nasional yang ditetapkan pada 20 Mei 1908 untuk menandai lahirnya Boedi Oetomo, sebuah gerakan yang lebih organis dengan eskalasi kesadaran nasional yang lebih luas dari perlawanan Pangeran Diponegoro yang hanya melingkupi wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Cokroaminoto, Soekarno, Suwardi Suryaningrat, dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh nasionalis yang lintas pulau. Pemikiran-pemikiran mereka turut mempengaruhi generasi berikutnya, termasuk SS. Maka wajar bila SS begitu menggebu dalam berpidato, dalam menyindir sehingga terasa amat ketus dan menghardik. Sama dengan para intelektuil dan seniman-seniman Lekra, Lesbumi, Persagi, dan lain-lain yang berdiri kala itu, semuanya gemar nian berdebat dan saling menghujat. Suatu aura yang pastinya dipengaruhi benar oleh letusan bedil dan mariam. Ya, SS lahir di masa revolusi dan pencarian jati diri bangsa di berbagai sektor dan elemen kebudayaan, tak terkecuali wilayah visual arts.

Pameran Peringatan Puncak 100 Tahun SS ini digagas oleh Soedjojono Center, dan pembukaannya dikemas dengan apik oleh Multi Arta Mayida, sebuah event organizer yang lincah dan idealis dalam menyelenggarakan pameran seni rupa, termasuk pameran trubador dari kota ke kota dengan membongkar pasang tenda untuk pameran. Pada pembukaan pameran, nampak beberapa tokoh seni rupa dan para perupa avant-garde macam Heri Dono, Ivan Hariyanto, Rudi Setia Darma, dll. Direktur EO Mayida, Yuliana Kaawoan mengatakan, Canna Gallery meminta pameran seabad SS ini kembali digelar di Canna, dan meminta Mayida mengemasnya.

Menyertai karya-karya SS, pada pameran tribute to itu dihadirkan pula karya seangkatannya, yaitu karya kakak-beradik Agus Djaya dan Otto Djaya, Sindu Sisworo, Sudiarjo, Surono, Emiria Soenasa, dan lukisan-lukisan karya perupa masa kini yang masih jumeneng, yaitu Agung Mangu Putra, Asmudjo Jono Irianto, Deden Sambas, Diyanto, Entang Wiharso, Hafiz, Isa Perkasa, Ivan Sagita, Jumaldi Alfi, Nasirun, Nyoman Erawan, Pupuk Daru Purnomo, Seruni Bodjawati, dan Sigit Santosa.

*Penulis adalah politikus nonpartisan.

Jumat, 05 Desember 2014

Aku Cinta Pada-mu (1)



Bagi-mu yang menyimpan hamparan laut
Sebuah perahu akan berlabuh
Mengantarkan salam dan kasihku
Sebatang sungai akan mengalirkan
Kerinduan dan peluk-ciumku

Bagi-mu yang terlunta-lunta di belantara kota
Yang didera kelaparan di tengah pesta pora
Yang dihardik kesepian di tengah keramaian
Bertandanglah ke ruang batinku
Akan kuhibur kau dengan selarik puisi:
Aku cinta kepada-mu!

Jakarta, 2005 - 2011

Aku Cinta pada-mu (2)

Inilah hidupku: Sunyi
Senyap langit
    Senyap bumi

Jakarta dini hari sehabis idul fitri:
Semesta yang mengheningkan cipta

Adakah berbuah
Bila kutanam di lubuk hati-mu

Ciumanku ingin bangkit
    Membakar kecantikan-mu
Supaya waktu tidak cepat berlalu

Di sini tidak ada musim gugur
Tapi daun-daun selalu luruh
Kemurungan sigap datang
Lalu kembali seperti biasa
Kita sibuk dan lupa


Jakarta, 2000 – 2004

Aku Cinta pada-mu (3)

(1)
Aku menulis sajak ini
Dengan tidak mengatasnamakan rakyat
Sebab aku pun rakyat

Kau pernah berjanji akan menerimaku
Sabagai apapun. Kekasih, ketahuilah
Aku mencintai-mu sebagai rakyat malang
Karena selalu dikhianati pemerintah

Tapi jika masih terbit pagi berikut mataharinya
Pasti kusunting engkau
Namun bersiaplah menikah di hati masing-masing
Sebab rumah-rumah ibadat telah dibakar umat
Maskawinku tangisan yatim piatu korban DOM
Ditambah jerit pengungsi Ambon dan Timor

(2)
Demi gedung-gedung yang berebut mencakar langit
Demi demonstran dan aparat yang berjabat hati
Dengan batu dan peluru: Aku mencintai-mu
Tapi ternyata hanya mencintai tanah air
Yang dipimpin penyamun dan pencoleng


Jakarta, 2002

Aku Cinta pada-mu (4)

(1)

Kekasih, akulah kota Jakarta yang semerawut
Dengan pemakaman umum yang tak terawatt

Tiba-tiba banjir bandang menerjang
Bah tumpah dari delapan penjuru
Liar, seperti prajurit kelaparan

Ke mana kau akan mengungsi
Berpalinglah pada ruang batinku:
Pada satu-satunya kuburan yang tak terendam


(2)

Aku tak bisa lagi memberi irama pada cuaca
Sedang si penagkap angin yang berpengalaman
Dengan wajah tirus dan jarring di tangan
Telah pulang ke akhir sejarah
Tinggal aku, kota yang sengsara
Harus merawat-mu dari wabah dan musibah

Hari ini tak ada mendung yang menggantung
Di atas rumah-mu. Tak ada halilintar
Yang tersesat arah. Ledakan petir telah lindap
Tetapi hujan tak pernah letih menari
Dengan seluruh jiwanya. Jika rinyai itu
Membuncah lagi, dan langit kembali berkabung
Kau akan basah kuyup. Rapuh
Seperti kapal terbengkelai di gigir pantai
Kau akan demam dan meracau


(3)

Kudatangi laut ke rumahnya
Siapa tahu dia memendam kesumat
Kujenguk langit dan berkunjung ke
Sarang badai
--kami baik-baik saja, kata mereka—
Hanya memang aku tak melihat hujan yang
Seharusnya tengah mendengkur di Istana Kemarau


(4)

Aku tak mengerti perasaaanku terkini
Apakah tengah membeku seperti batu
Atau mengalir deras, tak terhadang
Bahkan aku mencari-cari masihkah adakah
Kesengsaraan yang bisa mengucurkan tangisan

Kucemaskan kau karena segalanya
Makin sulit diramalkan. Kucemaskan kau
Karena bala dan petaka lebih dekat
Dari urat leher. Kucemaskan kau
Karena hidup semakin tidak memiliki kepastian
Kucemaskan kau karena peradaban telah begitu koma



Jakarta, 2002

Aku Cinta pada-mu (5)

Menunggu adalah perangai bebatuan
Aku bukan batu
Segera kulayarkan sebuah ciuman
Ke jantung-mu
Sebelum hari berlalu

Jika kelak kita akan mengarungi lautan luas
Aku akan menjadi nahkoda bagi-mu

Ingatanku telah mengukir jalan menuju ke sana
Rumah yang masih dirahasiakan Azza Wazalla
Bukankah seringkali kuajak kau menziarahinya
Dengan keyakinan bahwa nereka
Diperuntukkan bagi orang yang laknat

Dan aku mencintai-mu bukan lantaran
Tak ada orang lain yang layak untuk dicintai
Aku mencintai-mu karena pintu batinku
Telah terbuka untuk setiap kepulangan-mu

Pulanglah ke arahku
Ke tenda ibrahim


Jakarta, 2003

Aku Cinta pada-mu (6)

Ada saatnya aku selalu ingin dekat dengan-mu
Tidur di setiap ruang batin-mu
Mengilhami pikiran-pikiran-mu

Ada kalanya hatiku disergap keraguan yang datang
    Tiba-tiba
Benarkah kita tidak akan terpengaruh jarak dan
    Waktu
Keraguan yang kupikir amat manusiawi
Maka wahai kekasih, berilah aku sebentuk
    Kepastian

Wahai lautan ispirasiku, betapa penting
    Kehadiran-mu
Kuharap begitupun sebaliknya
Seperti api dan sumbu, kita saling membutuhkan
Saat menyalakan pelita

Mari kita leburkan jarak dan waktu
Yang masih menjadi pemisah di antara kita


Jakarta, 2003

Aku Cinta pada-mu (7)

Engkau di seberang, janganlah cemas
Sebab di benua yang lain, tak jauh dari hati-mu
Aku tengah memintal benang-benang kesetiaan
Jika telah usai kurajut sebuah mantel
Akan kupaketkan kepada-mu
Kenakanlah sebagai jubah kebersamaan kita

Cinta kita semakin berjarak, semakin membara
Menyulut kerinduanku hingga berkobar-kobar
Jika di tengah kegelapan kau melihat selubung
    Cahaya
Itulah pelita yang memancar dari kedalaman
    Cintaku


Jakarta, 2004

Aku Cinta pada-mu (8)

Aku telah menjadi tanah
Yang siap disemai benih
Kan kukembalikan jadi sebentuk tunas

Aku adalah sebait puisi
Yang telah merangkum kecantikan-mu
Kupancarkan keindahannya
Untuk dunia yang tak lelah bermandi darah

Aku obor bagi mereka yang kegelapan
Petiklah api yang memancar di hati-mu
Bakarlah sumbu jantungku

Aku adalah sebaris doa
Kuharap engkau akan memanjatkannya
Ke arasy yang tak terperi
Moga kegelapan
Lekas mempersempit wilayah kelamnya



Jakarta, 2004

Aku Cinta pada-mu (9)

Aku telah membelikan-mu  T-shirt allsize
Membawakan matrioska dari Ismailova
Memperlihatkan potret gigir Moskwa
Kurajut selimut dari kabut Yunani
Kukirimkan gantungan kunci dari Abudhabi
Kuselendangkan samping Sukowati
Kuhiasi jenjang leher-mu dengan kalung Papua
Kusematkan emblem palu-arit dari Kremlin
Tetapi selalu saja ada yang kurang

Apakah aku telah menjanjikan yang berlebih

Kelak jika kuganti lima batang cokelat
Dengan sepenggal sajak
Semata-mata supaya cenderamata ini
Lebih kekal dari usia kita


Jakarta, 2004

Aku Cinta pada-mu (10)

Sini, Nak! Siapa nama-mu?
Sapa orang tua-mu? Sudah  sekolahkah?
Ini recehan. Belilah bonbon

Aku teriris

Mengapa kau lari ke jalanan
Jadi kau kuntil anak, jadi hantu cilik
Jadi lirik yang getir dalam puisiku

Mengapa kau menolak bapak
Mengapa kau menuding ibu
Mengapa kau menghardik aku

Mengapa hari bermandi janji
Mengapa hati turun-naik
Mengapa uang bawa kuasa
Mengapa kuasa bawa congkak
Mengapa Papua berambut ikal
Mengapa Mongol bermata senja

Sini, Nak!
Mengapa kau betah di jalanan?


Jakarta, 2004

Kamis, 04 Desember 2014

SALAT ISYA



Aku rela melata dari cacing kembali
mengeliari got-got legam. Bersyukur
dapat menyesap bacin kehidupan
nyesek yang nyengat. Mual aku muntah
mahal bagi yang tak berkeiklasan

Aku tak bercita-cita jadi naga
ia memang terbang dan gagah
tapi hanya dalam dongengan
aku nyata pada tanah muasal

Raga-ku-copot, tak mengejawantah
tak tertera harga, tak dapat diniagakan
tinggal ruang tempat bergelanggang
aku menyeru-mu, merasa-rasakan
mendekatlah, kasih pelukan. Aku ingin
istirahi pangkuan pengampunan-mu


Bandung, 2014